Bukan Soekarno, Tapi Tan Malaka Sebagai Proklamator andai Bersedia Bacakan Teks

Bukan Soekarno, Tapi Tan Malaka Sebagai Proklamator andai Bersedia Bacakan Teks

NASIONAL, STORY 0 Comment

BATAVIASE NOUVELLES.COM. Jakarta — Terdapat buku menarik yang mengisahkan situasi menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia  17 Agustus 1945. Buku tersebut menguraikan fakta-fakta yang jarang diketahui banyak orang. Bahkan tidak pernah dipelajari di dalam buku-buku pelajaran sekolah.

Buku tersebut mengungkap peran anak bangsa dalam mempersiapkan kemerdekaan, setelah Jepang menyerah kepada sekutu.

Ada dua nama tokoh yang sangat terkenal dan banyak jasa merdekanya negeri ini yang ditulis di buku itu.

Hanya saja dua sosok tersebut nasibnya sangat tragis. Yang satu meninggal di penjara di negeri yang ia ikut mendirikannya. Yang satu lagi, meninggal akibat timah panas yang menembus tubuhnya.

Buku tersebut berjudul: “Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia”. Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Dan ditulis oleh penulis yang sangat terkenal; Rudolf Mrazek.

Buku tersebut menceriterakan tentang dua sosok. Yakni Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Kemudian diunggah oleh akun media sosial mwv.mystic dengan judul: Tan Malaka dan Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan.

Di antaranya yang menarik adalah soal penolakan Tan Malaka untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Jika ia tidak menolak, maka teks tersebut tidak dibacakan oleh Soekarno dan Muhammad Hatta.

Fakta-fakta di buku tersebut diyakini oleh penulisnya bukan suatu kebohongan melainkan fakta detail sejarah yang mungkin jarang dimuat di buku pelajaran sekolah.

Fakta-fakta yang ditulis itu merupakan sebuah alur sejarah menjelang kemerdekaan. Namun entah mengapa “hilang”. Padahal memiliki makna yang sangat besar.

Fakta itu dimulai pada Juli 1945, pasca-keluarnya Piagam Jakarta. Ketika hiruk pikuk perumusan rencana kemerdekaan Indonesia semakin dekat.

Dalam buku tersebut dituliskan jika Sutan Sjahrir sebagai salah satu motor golongan muda mencari tokoh yang paling tepat untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan. 

Golongan muda kala itu memang dikenal sebagai pihak yang paling ngotot melakukan proklamasi sesegera mungkin tanpa menunggu aba-aba dari Jepang. 

Sementara golongan tua justru sebaliknya, terkesan begitu berhati hati dan serba menunggu Jepang.

Walaupun dianggap cukup intelek dan berpengaruh di antara golongan muda lainnya, Sutan Sjahrir merasa dirinya sendiri tidak pantas untuk membacakan naskah sakral pernyataan kemerdekaan itu.

Menurutnya, secara figur, ia tidak begitu dikenal masyarakat. Walaupun pergerakan di “bawah tanah” terhadap penjajahan Jepang terbilang sangat berpengaruh besar.

Di buku itu juga ditulis jika Sjahrir juga enggan menunjuk Soekarno maupun Hatta kala itu. Bukan tanpa sebab, Soekarno dan Hatta dianggap “kolaborator Jepang”. Hal itu dikarenakan sikap mereka yang terkesan lambat dan benar benar patuh kepada keinginan Jepang.

Sebut saja Soekarno, tokoh tua yang sangat terkenal itu. Ia terlihat bergerak hanya jika disetujui Jepang. 

Lambatnya para golongan tua ini jugalah yg membuat golongan muda geram. Golongan muda merasa Indonesia belum sempurna seutuhnya jika masih bergantung dengan  Jepang.

Maka dari itu, Sutan Sjahrir merasa ada nama yang paling tepat untuk melaksanakan tugas sakral, membacakan teks proklamasi ini.

Seseorang yang enggan tunduk kepada kolonial, imperial, dan penjajahan apapun. Hingga sosok tersebut menjadi buronan Belanda dan Jepang pada saat itu.

Ia adalah seseorang yang mempunyai cita-cita sama dengan para golongan muda. Untuk menjadikan Indonesia negara merdeka secara utuh atas perjuangan bangsa sendiri.

Dan nama satu orang yang ada di pikiran Sutan Sjahrir saat itu adalah Sutan Ibrahim Datuk “Tan Malaka”.

Namun masalahnya, Tan Malaka adalah seorang “siluman”.  Kehidupannya yang terus berpindah-pindah serta bersembunyi dari kejaran orang orang yang ingin menangkapnya.

Sudah 20 tahun lamanya Tan Malaka menghilang. Keberadaannya hanya diketahui segelintir orang dari golongan muda. 

Tan Malaka bukan nama baru di telinga para perumus bangsa. Meskipun keberadaannya mungkin tidak diketahui orang orang, tapi pemikirannya tersebar ke penjuru negeri.

la digelari Bapak Republik, atau “the true founding father”. Ia digelari itu karena gagasan, konsep, dan cita-citanya.

Negara ini telah dituliskan oleh Tan Malaka melalui bukunya; Naar de Republiek Indonesia. Tulisan itu ia susun tahun 1925. Ketika masih di Belanda. Tulisan itu menjadi pegangan banyak peramu bangsa ini di kemudian hari.

Ketika menjelang proklamasi terjadi, masih ada pertentangan alot antara golongan tua dan muda. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam buku Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia karya Rudolf Mrazek. 

Dalam buku tersebut diungkapkan jika Sutan Sjahrir berhasil menemui Tan Malaka. la menawarkan rancangan teks proklamasi dari golongan muda untuk dibacakan oleh Tan Malaka kelak saat hari kemerdekaan. 

Namun Tan Malaka menolak kesempatan emas itu. Bahkan Tan Malaka sendiri yang meminta Sjahrir mencari tokoh lain saja untuk membacakannya.

Sjahrir sempat kecewa dengan penolakan itu. Ia gagal merayu seorang Tan Malaka, seorang yang anggap paling pantas untuk membacakan teks tersebut.

Meskipun dirinya menolak membacakan proklamasi, Tan Malaka tidak berarti pergi begitu saja dan membiarkan golongan muda memperjuangkannya sendiri.

Menurut beberapa sumber, Tan Malaka masih memberikan kontribusi besar dalam proses terjadinya proklamasi.

Bahkan menurut sumber tersebut, Tan Malaka adalah orang  yang menggerakan golongan muda semisal Sukarni, Wikana dan lain lain.

Golongan muda itu diminta untuk melakukan siasat penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya agar Proklamasi dapat dilakukan tanpa pengaruh Jepang dan golongan tua lainnya.

Hingga akhirnya, 78 tahun lalu pada 17 Agustus 1945, terjadilah peristiwa Proklamasi Kemerdekan Indonesia. Teks proklamasinya  dirumuskan oleh gabungan gol tua dan muda pada dini hari sebelumnya. Kemudian dibacakan Soekarno didampingi Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Pada momen itu, baik Sjahrir maupun Tan Malaka, tidak ada di Jalan Pengganngsaan Timur untuk berdiri di belakang para proklamator.

Walaupun ada foto yg mengatakan seseorang terlihat seperti Tan Malaka, namun tidak diketahui kebenarannya. 

Keduanya, Sjahrir maupun Tan Malaka memilih menyendiri dari kemeriahan itu. 

Sutan Sjahrir memilih tidak ikut karena merasa tidak puas dengan proklmasi yang baginya masih merupakan rekayasa pemberian Jepang. Seperti yang telah diberitakan majalah Tempo, edisi khusus Sjahrir.

Sementara itu dalam persembunyiannya, Tan Malaka mendengarkan detik-detik negara yang ia impikan dan cita citakan selama ini akhirnya menyatakan merdeka.

Hanya sayang cerita indah itu tidak berlaku menjelang akhir kehidupan kedua anak bangsa itu. Sjahrir dijadikan tahanan politik Orde Lama hingga ia meninggal dunia. 

Sementara itu sang bapak republik, Tan Malaka tewas ditangan tentara nasional dari negara yang dulu ia gagas dan begitu ia cintai.

Begitulah kisah dua anak bangsa bernama Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Dua sosok yang penuh kontroversi di negeri ini.

(bataviasenouvelles.com)

Sumber : radarmajalengka.com

Leave a comment

Search

Back to Top